PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 63 TAHUN 2002
TENTANG
HUTAN KOTA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
bahwa
untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Hutan Kota.
Mengingat
:
1.
Pasal 5 Ayat (2) Undang-Undang Dasar
1945 sebagaimana telah diubah dengan perubahan keempat Undang-Undang Dasar
1945;
2.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2034);
3.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3419);
4.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992
tentang Perumahan dan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3469);
5.
Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992
tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3501);
6.
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1994
tentang Perubahan Iklim (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor
42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3557);
7.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699);
8.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3839);
9.
Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888);
10.
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun
1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, serta Bentuk dan Tata Cara Peran
Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1996 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3660);
11.
Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun
1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1997 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3721);
12.
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun
2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan
Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom, (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3952);
13.
Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun
2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah,
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 41, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4090);
14.
Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun
2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan
Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2002 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4206);
15.
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun
2002 tentang Dana Reboisasi, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002
Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4207).
M E M U T U S K A N
:
Menetapkan : PERATURAN
PEMERINTAH TENTANG HUTAN KOTA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Kesatu
Batasan Pengertian
Pasal 1
Dalam
Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :
- Hutan
adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya
alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya
yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
- Hutan
Kota adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak
dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah
hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota
oleh pejabat yang berwenang.
- Wilayah
perkotaan merupakan pusat-pusat permukiman yang berperan di dalam suatu
wilayah pengembangan dan atau wilayah nasional sebagai simpul jasa atau
suatu bentuk ciri kehidupan kota.
- Kota
adalah wilayah perkotaan yang berstatus daerah otonom.
- Tanah
negara adalah tanah yang tidak dibebani
hak atas tanah.
- Tanah hak
adalah tanah yang dibebani hak atas
tanah.
- Tata
ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang baik direncanakan
maupun tidak.
- Rencana
tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang.
- Masyarakat
adalah orang seorang, kelompok orang, termasuk masyarakat hukum adat atau
Badan Hukum.
- Pemerintah
Pusat selanjutnya disebut Pemerintah adalah perangkat Negara Kesatuan
Republik Indonesia
yang terdiri dari Presiden beserta para Menteri.
- Pemerintah
Daerah adalah Kepala Daerah beserta perangkat Daerah Otonom yang lain
sebagai Badan Eksekutif Daerah.
- Peraturan
Daerah adalah Peraturan Daerah Kabupaten/Kota atau Peraturan Daerah
Provinsi untuk wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
- Menteri
adalah Menteri yang diserahi tugas dan bertanggung jawab dibidang
kehutanan.
Bagian Kedua
Tujuan dan Fungsi
Pasal 2
Tujuan
penyelenggaraan hutan kota
adalah untuk kelestarian, keserasian dan keseimbangan ekosistem perkotaan yang meliputi
unsur lingkungan, sosial dan budaya.
Pasal 3
Fungsi
hutan kota
adalah untuk :
a. memperbaiki dan menjaga iklim mikro dan nilai estetika;
b. meresapkan air;
c. menciptakan keseimbangan dan keserasian lingkungan fisik kota; dan
d. mendukung pelestarian keanekaragaman hayati Indonesia.
BAB II
PENYELENGGARAAN HUTAN KOTA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 4
(1) Untuk kepentingan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 di setiap wilayah perkotaan ditetapkan
kawasan tertentu sebagai hutan kota.
(2) Penyelenggaraan hutan kota sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) meliputi :
a. penunjukan;
b. pembangunan;
c. penetapan; dan
d. pengelolaan.
Bagian Kedua
Penunjukan
Pasal 5
(1) Penunjukan hutan kota terdiri dari :
a. penunjukan lokasi hutan kota;
dan
b. penunjukan luas hutan kota.
(2)
Penunjukan lokasi dan luas hutan kota
dilakukan oleh Walikota atau Bupati berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah
Perkotaan.
(3)
Untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, penunjukan lokasi dan luas hutan kota dilakukan oleh
Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah
Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Pasal 6
Lokasi
hutan kota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 merupakan bagian dari Ruang Terbuka Hijau
(RTH) Wilayah Perkotaan.
Pasal 7
(1)
Lokasi yang ditunjuk sebagai hutan kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan
Pasal 6 dapat berada pada tanah negara atau tanah hak.
(2)
Terhadap tanah hak yang ditunjuk sebagai lokasi hutan kota diberikan kompensasi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku.
Pasal 8
(1)
Penunjukan lokasi dan luas hutan kota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 6 didasarkan pada
pertimbangan sebagai berikut :
a. luas wilayah;
b. jumlah penduduk;
c. tingkat pencemaran; dan
d. kondisi fisik kota.
(2)
Luas hutan kota
dalam satu hamparan yang kompak paling sedikit 0,25 (dua puluh lima perseratus) hektar.
(3) Persentase luas hutan kota paling sedikit 10%
(sepuluh per seratus) dari wilayah perkotaan dan atau disesuaikan dengan
kondisi setempat.
Pasal 9
(1) Pedoman, kriteria dan standar
penunjukan hutan kota
diatur oleh Menteri.
(2) Tata cara penunjukan lokasi dan luas hutan kota sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7 dan Pasal 8 diatur dengan Peraturan Daerah.
Bagian Ketiga
Pembangunan
Paragraf
1
Umum
Pasal 10
(1) Pembangunan
hutan kota
dilakukan berdasarkan penunjukan lokasi dan luas hutan kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
(2) Pembangunan
hutan kota
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota.
(3) Untuk Daerah Khusus
Ibukota Jakarta, pembangunan hutan kota
dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Pasal 11
Pembangunan
hutan kota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 meliputi kegiatan :
a. perencanaan; dan
b. pelaksanaan.
Paragraf
2
Perencanaan
Pasal 12
(1)
Rencana pembangunan hutan kota
sebagai hasil dari perencanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a
merupakan bagian dari Rencana Tata Ruang Wilayah Perkotaan.
(2)
Untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, rencana pembangunan hutan kota sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
merupakan bagian dari Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
(3) Rencana pembangunan hutan kota sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disusun berdasarkan kajian dari aspek teknis, ekologis, ekonomis,
sosial dan budaya setempat.
Pasal
13
Rencana
pembangunan hutan kota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
memuat rencana teknis tentang tipe dan bentuk hutan kota.
Pasal 14
(1)
Penentuan Tipe hutan kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 sesuai dengan
fungsi yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Perkotaan atau Rencana
Tata Ruang Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
(2)
Tipe hutan kota
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari :
a. tipe kawasan permukiman;
b. tipe kawasan industri;
c. tipe rekreasi;
d. tipe pelestarian plasma nutfah;
e. tipe perlindungan; dan
f. tipe pengamanan.
Pasal
15
(1)
Penentuan bentuk hutan kota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
disesuaikan dengan karakteristik lahan.
(2)
Bentuk hutan kota
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas :
a. jalur;
b. mengelompok; dan
c. menyebar.
Paragraf
3
Pelaksanaan
Pasal 16
(1) Pelaksanaan
pembangunan hutan kota
didasarkan atas rencana pembangunan hutan kota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12.
(2) Pelaksanaan
pembangunan hutan kota
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui tahapan kegiatan :
a. penataan areal;
b. penanaman;
c. pemeliharaan;
d. pembangunan sipil teknis.
Pasal 17
(1)
Pedoman, kriteria dan standar pembangunan hutan kota diatur oleh Menteri.
(2)
Tata cara pembangunan hutan kota
diatur dengan Peraturan Daerah.
Bagian
Keempat
Penetapan
Pasal
18
Berdasarkan
hasil pelaksanaan pembangunan hutan kota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ditetapkan hutan kota dengan Peraturan Daerah.
Pasal 19
(1)
Tanah hak yang karena keberadaannya dapat dimintakan penetapannya sebagai hutan
kota oleh
pemegang hak tanpa pelepasan hak atas tanah.
(2) Pemegang hak dapat memperoleh
insentif atas tanah hak yang ditetapkan sebagai hutan kota.
(3) Pemberian insentif sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Daerah.
(4) Tanah hak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan sebagai hutan kota
untuk jangka waktu paling sedikit 15 (lima
belas) tahun.
(5) Penetapan tanah hak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan tanpa melalui proses penunjukan dan
pembangunan.
(6) Tanah hak yang dapat dimintakan
penetapannya sebagai hutan kota
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memenuhi kriteria sebagai berikut :
a.
terletak di wilayah perkotaan dari suatu Kabupaten/Kota atau provinsi untuk
Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta;
b.
merupakan ruang terbuka hijau yang didominasi pepohonan;
c.
mempunyai luas yang paling sedikit 0,25
(dua puluh lima
perseratus) hektar dan mampu membentuk atau memperbaiki iklim mikro, estetika,
dan berfungsi sebagai resapan air.
(7) Penetapan dan perubahan peruntukan
tanah hak sebagai hutan kota
dilakukan dengan Keputusan Bupati/ Walikota.
(8) Untuk Daerah Khusus Ibukota
Jakarta, penetapan dan perubahan peruntukan tanah hak sebagai hutan kota dilakukan dengan
keputusan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
(9) Penetapan dan perubahan peruntukan
tanah hak sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilakukan berdasarkan permohonan
dari pemegang hak.
Pasal 20
(1) Perubahan peruntukan hutan kota yang berada pada
tanah negara disesuaikan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Perkotaan serta
ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
(2) Untuk Daerah Khusus Ibukota
Jakarta, perubahan peruntukkan hutan kota
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disesuaikan dengan Rencana Tata Ruang
Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta serta ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
(3) Perubahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) didasarkan pada hasil penelitian terpadu.
Bagian
Kelima
Pengelolaan
Paragraf
1
Umum
Pasal 21
(1) Pengelolaan hutan kota dilakukan sesuai
dengan tipe dan bentuk hutan kota
agar berfungsi secara optimal berdasarkan penetapan hutan kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.
(2) Pengelolaan hutan kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi tahapan kegiatan :
a. penyusunan rencana pengelolaan;
b. pemeliharaan;
c. perlindungan dan pengamanan;
d. pemanfaatan; dan
e. pemantauan dan evaluasi.
Pasal 22
(1)
Pengelolaan hutan kota
yang berada di atas tanah negara dapat dilakukan oleh :
a. Pemerintah Daerah; dan atau
b. Masyarakat.
(2) Pengelolaan hutan kota yang berada pada
tanah hak dilakukan oleh pemegang hak.
(3) Pengelolaan hutan kota sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dapat dilakukan oleh masyarakat bukan pemegang hak atau
Pemerintah Daerah melalui perjanjian dengan pemegang hak.
Paragraf 2
Penyusunan Rencana Pengelolaan
Pasal 23
Penyusunan
rencana pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf a
disusun berdasarkan prinsip-prinsip pengelolaan
yang meliputi:
a. penetapan
tujuan pengelolaan;
b. penetapan program jangka pendek dan jangka panjang;
c. penetapan kegiatan dan kelembagaan; dan
d. penetapan sistem monitoring dan evaluasi.
Paragraf 3
Pemeliharaan
Pasal 24
Pemeliharaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf b dilaksanakan dalam rangka
menjaga dan mengoptimalkan fungsi dan manfaat hutan kota melalui optimalisasi ruang tumbuh, diversifikasi tanaman dan peningkatan
kualitas tempat tumbuh.
Paragraf 4
Perlindungan dan Pengamanan
Pasal 25
(1) Perlindungan dan pengamanan hutan
kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf c bertujuan untuk
menjaga keberadaan dan kondisi hutan kota agar tetap berfungsi secara optimal.
(2) Perlindungan dan pengamanan hutan kota sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan melalui upaya :
a. pencegahan dan penanggulangan kerusakan lahan;
b. pencegahan dan penanggulangan
pencurian fauna dan flora;
c. pencegahan dan penanggulangan kebakaran; dan
d. pengendalian dan penanggulangan hama dan penyakit.
Pasal
26
(1) Setiap orang dilarang melakukan
kegiatan yang mengakibatkan perubahan dan atau penurunan fungsi hutan kota.
(2) Setiap orang dilarang :
a. membakar hutan kota;
b. merambah hutan kota;
c. menebang, memotong, mengambil, dan memusnahkan tanaman dalam hutan
kota, tanpa izin dari pejabat yang berwenang;
d. membuang benda-benda yang dapat mengakibatkan kebakaran atau
membahayakan kelangsungan fungsi hutan kota; dan
e. mengerjakan, menggunakan, atau menduduki hutan kota secara tidak sah.
Paragraf
5
Pemanfaatan
Pasal 27
(1) Hutan kota dapat dimanfaatkan untuk keperluan :
a. pariwisata alam, rekreasi dan atau olah raga;
b. penelitian dan pengembangan;
c. pendidikan;
d. pelestarian plasma nutfah; dan atau
e. budidaya hasil hutan bukan kayu.
(2) Pemanfaatan hutan kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsi hutan kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
Paragraf
6
Pemantauan dan Evaluasi
Pasal 28
(1) Pemantauan dan evaluasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf e dimaksudkan untuk
meningkatkan kinerja pengelola melalui penilaian kegiatan pengelolaan secara
menyeluruh.
(2)
Hasil penilaian kegiatan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dipergunakan sebagai bahan penyempurnaan terhadap pengelolaan hutan kota.
(3)
Pemantauan dan evaluasi dilakukan secara periodik.
Pasal
29
(1) Kriteria dan standar pengelolan
hutan kota
diatur dengan Keputusan Menteri.
(2) Pedoman pengelolaan hutan kota diatur dengan
Peraturan Daerah.
BAB
III
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 30
(1) Menteri melakukan
pembinaan terhadap penyelenggaraan hutan kota
yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah.
(2) Menteri dapat melimpahkan
pembinaan atas penyelenggaraan hutan kota
di Kabupaten/Kota
kepada Gubernur selaku wakil pemerintah di daerah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(3) Pembinaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan dan
supervisi.
(4) Pemerintah Daerah melakukan
pembinaan terhadap pengelolaan hutan kota
yang dilakukan oleh masyarakat.
Pasal 31
(1) Menteri melakukan
pengawasan terhadap penyelenggaraan hutan kota
yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah.
(2) Menteri dapat
melimpahkan pengawasan atas penyelenggaraan hutan kota di Kabupaten/Kota kepada Gubernur selaku wakil pemerintah
di daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Gubernur atau Bupati/
Walikota melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan hutan kota di wilayah kerjanya.
(4) Pelaksanaan pengawasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan bersama-sama
masyarakat secara terkoordinasi dengan instansi pemerintah yang terkait.
Pasal 32
Pelaksanaan
lebih lanjut tentang pengawasan dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
BAB IV
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 33
(1) Pemerintah, Pemerintah
Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota mendorong peran serta masyarakat dalam
penyelenggaraan hutan kota.
(2) Peran serta masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sejak penunjukan, pembangunan,
penetapan, pengelolaan, pembinaan dan pengawasan.
(3) Ketentuan tentang tata cara
peran serta masyarakat diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah.
Pasal 34
(1)
Peningkatan peran serta masyarakat dilakukan melalui :
a. pendidikan dan pelatihan;
b. penyuluhan;
c. bantuan teknis dan insentif.
(2)
Ketentuan lebih lanjut tentang pengaturan pemberian bantuan teknis dan insentif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diatur dengan Peraturan Daerah.
Pasal 35
(1)
Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan hutan kota dapat berbentuk
:
a. penyediaan lahan untuk penyelenggaraan hutan kota;
b. penyandang dana dalam rangka penyelenggaraan hutan kota;
c. pemberian masukan dalam penentuan lokasi hutan kota;
d. pemberian bantuan dalam mengidentifikasi berbagai potensi dalam
masalah penyelenggaraan hutan kota;
e. kerjasama dalam penelitian dan pengembangan;
f. pemberian informasi, saran, pertimbangan atau pendapat dalam
penyelenggaraan hutan kota;
g. pemanfaatan hutan kota berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
h. bantuan pelaksanaan pembangunan;
i. bantuan keahlian dalam penyelenggaraan hutan kota;
j. bantuan dalam perumusan rencana pembangunan dan pengelolaan;
k. menjaga, memelihara dan meningkatkan fungsi hutan kota.
(2)
Tata cara peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan hutan kota diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Daerah.
BAB V
PEMBIAYAAN
Pasal 36
Biaya
penyelenggaraan hutan kota
berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah atau sumber dana lainnya
yang sah.
BAB VI
S A N K S I
Pasal 37
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 26 dikenakan sanksi
yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah.
BAB
VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal
38
Hutan
kota yang telah
ditetapkan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini dinyatakan tetap berlaku
dan segera menyesuaikan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.
BAB
VIII
P E N U T U P
Pasal
39
Pada saat mulai berlakunya Peraturan
Pemerintah ini, semua peraturan perundang-undangan yang mengatur hutan kota
yang telah ada sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini,
tetap berlaku sampai dengan dikeluarkannya peraturan pelaksanaan yang baru
berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal
40
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku
pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 12 Nopember 2002
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 12 Nopember 2002
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR
119 TAHUN 2002
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 63 TAHUN 2002
TENTANG
HUTAN KOTA
I. UMUM
Pembangunan
kota sering
dicerminkan oleh adanya perkembangan fisik kota yang lebih banyak ditentukan oleh sarana
dan prasarana yang ada. Pembangunan kota
pada masa lalu sampai sekarang cenderung untuk meminimalkan ruang terbuka hijau
dan menghilangkan wajah alam. Lahan-lahan bertumbuhan banyak dialihfungsikan
menjadi kawasan perdagangan, kawasan permukiman, kawasan industri, jaringan
transportasi (jalan, jembatan, terminal) serta sarana dan prasarana kota lainnya.
Keadaan
lingkungan perkotaan menjadi berkembang secara ekonomi, namun menurun secara
ekologi. Padahal keseimbangan lingkungan perkotaan secara ekologi sama
pentingnya dengan perkembangan nilai ekonomi kawasan perkotaan. Kondisi
demikian menyebabkan terganggunya keseimbangan ekosistem perkotaan, yang berupa
meningkatnya suhu udara di perkotaan, pencemaran udara (seperti meningkatnya
kadar karbonmonoksida, ozon, karbondioksida, oksida nitrogen, belerang, dan
debu), menurunnya air tanah dan permukaan tanah, banjir atau
genangan, instrusi air laut, meningkatnya kandungan logam berat dalam air
tanah.
Keadaan
tersebut menyebabkan hubungan masyarakat perkotaan dengan lingkungannya menjadi
tidak harmonis.
Menyadari
akan ketidakharmonisan tersebut dan mempertimbangkan dampak negatif yang
akan terjadi, maka harus ada usaha-usaha untuk menata dan memperbaiki
lingkungan melalui pembangunan hutan kota.
Untuk
memberikan kepastian hukum tentang keberadaan hutan kota, diperlukan pengaturan tentang hutan kota dalam suatu
Peraturan Pemerintah.
Peraturan
Pemerintah tentang Hutan Kota
dimaksudkan sebagai pedoman dan arahan bagi Pemerintah dan Pemerintah Daerah
dalam penyelenggaraan hutan kota.
II.
PASAL DEMI PASAL
Pasal
1
Cukup jelas
Pasal
2
Tujuan dari penyelenggaraan hutan kota tersebut dimaksudkan untuk :
a.
menekan/mengurangi peningkatan
suhu udara diperkotaan;
b.
menekan/mengurangi pencemaran
udara (kadar karbonmonoksida, ozon, karbondioksida, oksida nitrogen, belerang
dan debu);
c.
mencegah terjadinya penurunan
air tanah dan permukaan tanah;
d.
mencegah terjadinya banjir atau
genangan, kekeringan, intrusi air laut, meningkatnya kandungan logam berat
dalam air.
Pasal
3
Sesuai dengan tujuan penyelenggaraan hutan kota, maka penyelenggaraan hutan kota lebih ditekankan
kepada fungsinya yaitu, antara lain, sebagai penyerap karbondioksida dan
penghasil oksigen, penyerap polutan (logam berat, debu, belerang), peredam
kebisingan, pelestarian plasma nutfah, mendukung keanekaragaman flora, fauna
dan keseimbangan ekosistem, penahan angin dan peningkatan keindahan. Dengan
demikian, maka hutan kota
dikategorikan sudah terbangun apabila secara fisik sudah bervegetasi sesuai
dengan yang direncanakan.
Iklim mikro adalah kondisi lapisan
atmosfir yang dekat dengan permukaan tanah atau sekitar tanaman seperti suhu,
kelembaban, tekanan udara, keteduhan dan dinamika energi radiasi surya.
Nilai estetika adalah suatu keadaan
dimana setiap orang yang oleh karena kondisi atau sesuatu hal dapat merasakan
kenyamanan atau menikmati keindahan, sehingga dapat dan menghilangkan rasa
kejenuhan.
Pasal
4
Ayat (1)
Pengertian
wilayah perkotaan dimaksud sama dengan pengertian kawasan perkotaan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang.
Selanjutnya, yang dimaksud kawasan
tertentu disini adalah suatu lahan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan bukan sebagaimana dimaksud dalam
peraturan perundang-undangan tentang penataan ruang.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal
5
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Wilayah Perkotaan secara administratif dapat berada dalam Wilayah
Administrasi Kota maupun dalam Wilayah Administrasi Kabupaten.
Ayat (3)
Oleh karena di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta tidak ada
kabupaten atau kota yang bersifat otonom, maka penyelenggaraan hutan kota di
Daerah Khusus Ibukota Jakarta dilakukan oleh Gubernur.
Pasal 6
Yang dimaksud wilayah perkotaan, lihat penjelasan Pasal 4 ayat (1).
Ruang Terbuka Hijau (RTH) wilayah
perkotaan adalah ruang di dalam kota atau wilayah yang lebih luas, baik dalam
bentuk areal memanjang/jalur atau mengelompok, dimana penggunaannya lebih
bersifat terbuka, berisi hijau tanaman atau tumbuh-tumbuhan yang tumbuh secara
alami atau tanaman budidaya.
Ruang terbuka hijau meliputi ruang-ruang
di dalam kota yang sudah ditetapkan dalam rencana tata ruang wilayah perkotaan.
Pasal 7
Ayat (1)
Tanah hak atau hak atas lahan dapat berupa hak milik, hak guna usaha
(HGU), hak pengelolaan, hak pakai, dan hak-hak lainnya yang telah diatur dalam
peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (2)
Kompensasi adalah pemberian ganti rugi atau tanah pengganti kepada
pemegang hak tanah melalui musyawarah.
Pasal 8
Ayat (1)
Penentuan luas hutan kota dalam suatu wilayah perkotaan harus
proporsional didasarkan luas wilayah, jumlah penduduk, tingkat polusi dan
kondisi fisik kota.
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Kondisi fisik kota adalah keadaan bentang alam kota berupa bangunan
alam di atas tanah perkotaan termasuk tumbuhan, sungai, danau, rawa, bukit,
hutan dan bangunan buatan sebagai sarana prasarana seperti jalan,
gedung-gedung, permukiman, lapangan udara, lapangan terbuka hijau, taman dan
sejenisnya termasuk lingkungannya.
Ayat (2)
Luasan
0,25 (dua puluh lima perseratus) hektar merupakan hamparan terkecil hutan kota
dengan pertimbangan teknis bahwa pohon-pohon yang tumbuh dapat menciptakan
iklim mikro.
Pengertian dari kompak adalah hamparan yang menyatu.
Ayat (3)
Yang
dimaksud wilayah perkotaan, lihat penjelasan Pasal 4 ayat (1).
Kondisi setempat yang dimaksud antara lain meliputi jumlah
penduduk atau kondisi fisik kota.
Taman hutan raya, kebun raya, kebun binatang, hutan lindung,
arboretum, bumi perkemahan yang berada di wilayah kota atau kawasan perkotaan
dapat diperhitungkan sebagai luasan kawasan yang berfungsi sebagai hutan
kota.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Tata
cara penunjukkan meliputi inventarisasi, analisis penelitian,
kompensasi/gantirugi dan koordinasi.
Pasal 10
Ayat (1)
Pembangunan hutan kota
dilaksanakan dalam rangka membentuk fisik hutan agar berfungsi sebagai hutan
kota.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Yang dimaksud wilayah
perkotaan, lihat penjelasan Pasal 4 ayat (1).
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Aspek
teknis yang dimaksud adalah dengan memperhatikan kesiapan lahan, jenis tanaman,
bibit, teknologi.
Lahan yang dimaksud merupakan ruang bebas dari Saluran Udara
Tegangan Tinggi (SUTT), dan Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET).
Aspek ekologis yang dimaksud adalah memperhatikan keserasian
hubungan manusia dengan lingkungan alam kota.
Aspek ekonomis yang dimaksud berkaitan dengan biaya dan manfaat yang
dihasilkan.
Aspek sosial dan budaya setempat yang dimaksud adalah memperhatikan
nilai dan norma sosial serta budaya setempat.
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Yang dimaksud wilayah
perkotaan, lihat penjelasan Pasal 4 ayat (1).
Ayat (2)
Yang
dimaksud dengan :
a.
Tipe kawasan permukiman adalah
hutan kota yang dibangun pada areal permukiman, yang berfungsi sebagai
penghasil oksigen, penyerap karbondioksida, peresap air, penahan angin,
dan peredam kebisingan, berupa jenis komposisi tanaman pepohonan yang tinggi
dikombinasikan dengan tanaman perdu dan rerumputan.
Karakteristik pepohonannya :
1. pohon-pohon dengan perakaran kuat, ranting tidak mudah patah,
daun tidak mudah gugur.
2. pohon-pohon penghasil bunga/buah/biji yang bernilai ekonomis.
b.
Tipe kawasan industri adalah
hutan kota yang dibangun di kawasan industri yang berfungsi untuk mengurangi
polusi udara dan kebisingan, yang ditimbulkan dari kegiatan industri.
Karakteristik pepohonannya:
pohon-pohon berdaun lebar dan rindang, berbulu dan yang mempunyai
permukaan kasar/berlekuk, bertajuk tebal, tanaman yang menghasilkan bau harum.
c.
Tipe rekreasi adalah hutan kota
yang berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan rekreasi dan keindahan, dengan jenis
pepohonan yang indah dan unik.
Karakteristik pepohonannya:
pohon-pohon yang indah dan atau penghasil bunga/ buah (vector) yang
digemari oleh satwa, seperti burung, kupu-kupu dan sebagainya.
d.
Tipe Pelestarian plasma nutfah
adalah hutan kota yang berfungsi sebagai pelestari plasma nutfah, yaitu :
1. sebagai konservasi plasma nutfah khususnya vegetasi secara in-situ;
2. sebagai habitat khususnya untuk satwa yang dilindungi atau yang
dikembangkan.
Karateristik pepohonannya :
pohon-pohon langka dan atau unggulan setempat.
e.
Tipe perlindungan adalah hutan
kota yang berfungsi untuk :
1.
mencegah atau mengurangi bahaya
erosi dan longsor pada daerah dengan kemiringan cukup tinggi dan sesuai
karakter tanah;
2.
melindungi daerah pantai dari
gempuran ombak (abrasi);
3.
melindungi daerah resapan air
untuk mengatasi masalah menipisnya volume air tanah dan atau masalah intrusi
air laut;
Karakteristik pepohonannya :
4.
pohon-pohon yang memiliki daya
evapotranspirasi yang rendah.
5.
pohon-pohon yang dapat
berfungsi mengurangi bahaya abrasi pantai seperti mangrove dan pohon-pohon yang
berakar kuat.
f.
Tipe pengamanan adalah hutan
kota yang berfungsi untuk meningkatkan keamanan pengguna jalan pada jalur
kendaraan dengan membuat jalur hijau dengan kombinasi pepohonan dan tanaman
perdu.
Karakteristik pepohonannya :
Pohon-pohon yang berakar kuat
dengan ranting yang tidak mudah patah, yang dilapisi
dengan perdu yang liat, dilengkapi jalur pisang-pisangan dan atau tanaman
merambat dari legum secara berlapis-lapis.
Pasal 15
Ayat (1)
Karakteristik lahan
adalah bentuk/ ciri bentang lahan yang khas.
Ayat (2)
Hutan
kota dengan bentuk :
a.
jalur adalah hutan kota yang
dibangun memanjang antara lain berupa jalur peneduh jalan raya, jalur
hijau di tepi jalan kereta api, sempadan sungai, sempadan pantai dengan
memperhatikan zona pengaman fasilitas/instalasi yang sudah ada, antara lain
ruang bebas SUTT dan SUTET.
b.
mengelompok adalah hutan kota
yang dibangun dalam satu kesatuan lahan yang kompak.
c.
menyebar adalah hutan kota yang
dibangun dalam kelompok-kelompok yang dapat berbentuk jalur dan atau kelompok
yang terpisah dan merupakan satu kesatuan pengelolaan.
Untuk masing-masing kelompok baik yang berbentuk jalur atau kelompok
yang terpisah luas minimum 0,25 (dua puluh lima perseratus) hektar tetap
diberlakukan pada setiap kelompok dan bukan merupakan akumulasi luas dari
kelompok-kelompok yang tersebar itu meskipun merupakan satu kesatuan
pengelolaan.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Berdasarkan kondisi fisik lapangan dilakukan penataan bagian-bagian
lahan sesuai dengan persyaratan teknis dan peruntukannya.
Huruf b
Kegiatan penanaman dimulai sejak persiapan tanaman (pengadaan bibit,
ajir/bronjong, penyiapan lubang tanaman) dan pelaksanaan penanaman.
Huruf c
Pemeliharaan meliputi kegiatan pemupukan, penyiangan, penyulaman,
pemangkasan, dan penjarangan.
Huruf d
Pembangunan sipil teknis dapat berupa terassering, sesuai kondisi
setempat dan sarana penunjang lainnya.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Peraturan Daerah memuat
antara lain :
a. Tata cara
perencanaan pembangunan
b. Tata cara
pelaksanaan pembangunan
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (1)
Tanah
hak yang dimohonkan oleh pemegang hak untuk ditetapkan sebagai hutan kota dalam
pasal ini berbeda dengan penetapan tanah hak menjadi hutan kota sebagaimana
diatur dalam Pasal 7. Tanah hak yang ditetapkan menjadi hutan kota dalam pasal
ini karena kesadaran pemegang hak, dapat dimintakan untuk dijadikan hutan
kota.
Ayat (2)
Insentif dapat berupa :
·
insentif langsung yang antara
lain berbentuk subsidi finansial dan atau natura, infrastruktur, bimbingan
teknis, dan atau
·
insentif tak langsung yang berupa
kebijakan fiskal.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Jangka
waktu 15 tahun dimaksudkan untuk adanya jaminan terhadap pemberian insentif dan
manfaat ekonomi apabila terjadi perubahan penggunaan atas tanah.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Huruf a
Yang dimaksud wilayah perkotaan, lihat penjelasan Pasal 4 ayat (1)
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Cukup jelas
Ayat (9)
Cukup jelas
Pasal 20
Ayat (1)
Yang dimaksud wilayah
perkotaan, lihat penjelasan Pasal 4 ayat (1).
Perubahan peruntukkan
hutan kota meliputi perubahan luas, fungsi, tipe dan bentuk hutan kota.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Penelitian
terpadu dimaksudkan untuk menjamin obyektifitas dan kualitas hasil penelitian,
maka kegiatan penelitian diselenggarakan oleh lembaga pemerintah yang mempunyai
kompetensi dan memiliki otoritas ilmiah bersama-sama dengan stakehorder/pihak
lain yang terkait.
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Ayat (1)
Pengelolaan
hutan kota pada tanah negara yang dilakukan oleh masyarakat diberikan oleh
Pemerintah Daerah melalui pemberian hak pengelolaan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 23
Huruf a
Penetapan tujuan
pengelolaan yang dimaksud adalah dalam rangka optimalisasi fungsi hutan kota
Huruf b
Penetapan program jangka
pendek dan jangka panjang dengan memperhatikan lingkungan strategis
Huruf c
Penetapan kegiatan dan
kelembagaan dimaksudkan agar kegiatan dapat berjalan dengan baik, yang meliputi
:
1. penetapan
organisasi;
2. batas-batas
kewenangan pihak terkait.
Huruf d
Sistem monitoring dan
evaluasi dilakukan melalui penetapan :
1. kriteria;
2. standar;
3. indikator;
4. alat
verifikasi.
Pasal 24
Optimalisasi ruang tumbuh dan diversifikasi tanaman
antara lain meliputi kegiatan :
a. penyulaman;
b. penjarangan;
c. pemangkasan; dan
d. pengayaan.
Peningkatan kualitas tempat tumbuh antara lain
meliputi kegiatan :
a. pemupukan;
b. penyiangan.
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Ayat (1)
Indikator
perubahan dan penurunan fungsi hutan kota ditunjukkan oleh penurunan kondisi di
sekitar lokasi hutan kota, diantaranya suhu udara, sistem tata air, tingkat
erosi, kecepatan angin, keutuhan pepohonan, yang mengakibatkan terjadinya penurunan
fungsi hutan kota.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Yang
dimaksud dengan mengerjakan, menggunakan dan menduduki adalah setiap kegiatan
yang bermaksud untuk mengusahakan, mengubah atau memanfaatkan areal hutan kota
untuk kepentingan lain.
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Ayat (1)
Pemantauan
dan evaluasi dilakukan terhadap tahapan-tahapan dan penyelesaian kegiatan
berdasarkan rencana dan tata waktu yang telah disusun, yang meliputi
pemeliharaan, perlindungan dan pengamanan pemanfaatan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Ayat (1)
Pengembangan peran serta
masyarakat ditempuh melalui gerakan peningkatan kesadaran akan manfaat hutan kota
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat
(2)
Pedoman
pemberian bantuan teknis meliputi pemilihan lokasi, kesesuaian jenis, teknis
rehabilitasi dan konservasi.
Insentif dapat diberikan dalam bentuk penghargaan yang berupa materi
atau pencantuman nama pemegang hak sebagai nama hutan kota.
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Cukup jelas
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal 39
Cukup jelas
Pasal 40
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4242 TAHUN 2002